Rabu, 06 April 2011

Hukum Taklifi Dan Hukum Wad’i

1. Hukum Taklifi
Para ahli ushul fiqih mendefinisikan hukum taklifi sebagaimana di bawah ini:
Hukum taklifi adalah suatu ketentuan yang menuntut mukallaf melakukan atau meninggalkan perbuatan atau berbentuk pilihan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan. Hukum taklifi terdiri dari wajib, mandub,haram, makruh, mubah. (Firdaus,hal:239.2004)
1). Wajib
a. Tuntutan untuk memperbuat secara pasti dengan arti harus diperbuat sehingga orang yang memperbuat patut mendapat ganjaran dan yang meninggalkan mendapat ancaman/dosa.
Contoh: Allah SWT berfirman dalam surat al-baqoroh ayat 110:
   •           •     
“Dan Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha melihat apa-apa yang kamu kerjakan”. (Nasrun,hal:211.1997)

Dalam surat an-nisa ayat 24:
             •  •                            •     
“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah Telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang Telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah Mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu Telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu.Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (Dede,hal:18.1996)

2). Mandub/Sunnah
b. Tuntutan untuk memperbuat secara tidak pasti denagn arti perbuatan itu untuk dilaksanakan.terhadap yang melaksanakan,berhak mendapat ganjaran atas kepatyhannya tetapi bila tuntutan itu ditinggalkan tidak apa-apa/tidak mendapat sangsi.Oleh karenanya yang meninggalkannya tidak patut mendapat ancaman dosa. Contoh: Seperti ayat 282 dalam surat al-baqoroh:
                                           •       •                      •                 •  •                                           •          
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (Nasrun,hal:211.1997)

3). Haram
c. Tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan secara pasti dengan artian yang dituntut harus meninggalkannya,bila seseorang meninggalkannya berarti ia telah patuh kepada yang melarangnya.Oleh karena itu ia patut mendapat ganjaran.Orang yang tidak meninggalkan larangan itu berarti ia menyalahi tuntutan allah SWT,karenanya patut mendapat ancaman dosa.
Contoh: dalam ayat 229 surah al-Baqoroh:
                                                   
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang Telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim”.
Dan juga dalam ayat 32 surat al-Isyro:
         
“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk”.
Juga dalam ayat3 surat al-Ma’idah:
       •       •                                                •    
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. pada hari ini orang-orang kafir Telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa Karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dan juga dalam surat al-maidah ayat 90:
               
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”. (Dede,hal:22.1996)
4). Makruh
d. Tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan,tetapi tuntutan itu diungkapkan melalui redaksi yang tidak pasti.Seseorang yang mengerjakan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan,tidak dikenai hukuman.
Contoh dalam sabda Rosulullah SAW yang artinya: “Perbuatan halal yang paling dibenci Allah SWT adalah talak”.(H.R Abu daud,Ibnu Majjah,al-Baihaqi dan Hakim). (Nasrun,hal:213.1997)
Dan juga seperti dalam ayat101 surat al-Maidah:
               •           
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun”. (Dede,hal:24.1996)

5). Mubah
e. Suatu perbuatan yang diberi kemungkinan kepada mukallaf antara memperbuat dan meninggalkan.Untuk menunjukkan hukum mubah,al-Qur’an dan Sunnah menggunakan sejumlah redaksi,diantaranya perbuatan itu memang dibolehkan. Mubah dapat diketahui melalui tiga cara:
1.Adanya ucapan pembuat hukum (syari’) tentang “tidak berdosa” atau “tidak ada halangannya” atau kata lain sejenis dengan itu, Contoh dalam ayat173 surat al-Baqoroh:
        •               •    
“Sesungguhnya Allah Hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
2.Adanya ucapan pembuat hukum yang secara jelas “menghalalkan” perbuatan itu.Contoh dalam surat al-Maidah ayat96:
•                 •     
“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan”.
3.Tidak ada nash syara’ yang mengharamkannya; oleh karenanya kembali kepada hukum asal berdasarkan prinsip dalam artian selama tidak ada titah Allah SWT yang mengharamkan maka hukumnya mubah.Dengan demikian setiap sesuatu yang ditemukan dalam bentuk makanan atau pakaian umpamanya,tetapi tidak ada keterangan yang mengharamkannya,maka hukumnya mubah.seperti memakan daging kelinci,memakai pakaian yang terbuat dari bulu kambing yang telah dibersihkan.Hal yang demikian dibolehkan,karena tidak ada dalil yang mengharamkannya. (Amir,hal:317-318.1997)

2. Hukum Wad’i
Hukum wad’i adalah ketentuan Allah SWT yang menetapkan sesuatu sebagai sebab,syarat,mani’,syah,fasid,azimah dan rukhsoh.Melalui definisi ini dapat dipahami bahwa hukum wad’i merupakan ketentuan Allah SWT yang mengatur tentang sebab,syarat,mani’,syah,batal,azimah dan rukhsoh. (Firdaus,hal:249.2004)
1). Sebab
• Sesuatu yang dijadikan syariat sebagai tanda bagi adanya hukum,dan tidak adanya sebab sebagai tanda bagi tidak adanya hukum.
Dari definisi ini dapat dipahami bahwa yang menetapkan sesuatu sebagai sebab adalah syari’ (Allah).Hal ini sangat logis karena Allah yang menetapkan hukum taklifi dan yang menjadikan sebab sebagai tanda ada atau tidak adanya hukum.Seperti dalam surat ayat yang artinya: “siapa diantara kamu yang telah melihat bulan (hilal) maka berpuasalah”.Contoh lain adalah seperti mabuk sebagai penyebab keharaman khamar,dalam sabda rosulullah SAW yang berbunyi: Setiap yang memabukkan itu adalah haram.(H.R Muslim,Ahmad ibn hambal dan Ashhab al-sunan). (Nasrun,hal:261.1997)
2). Syarat
• Adalah sesuatu yang dijadikan syari’ sebagai pelengkap terhadap perintah syara’,tidak syah pelaksanaan suatu perintah syara’ kecuali dengan adanya syarat tersebut. Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa syarat mempunyai arti penting karena sesuatu yang lain tergantung kepada adanya syarat tersebut.Dengan tidak terpenuhi syarat tersebut,maka berimplikasi suatu perintah syara’ menjadi tidak syah.Contoh:Wudu’ merupakan syarat syah pelaksanaan sholat.Berarti,bahwa syarat syahnya sholat tergantung adanya wudhu’.Dan juga pada saksi perkawinan,yang merupakan syarat syah akat nikah. (Firdaus,hal:251.2004)
3). Mani’
• Yaitu sesuatu yang ditetapkan syari’ sebagai penghalang adanya hukum.
Contoh: Akad perkawinan yang syah menyebabkan terjadi hubungan kewarisan antara suami istri.Namun,hak saling mewarisi antara suami istri tersebut dapat menjadi terhalang karena salah satu pihak melakukan pembunuhan terhadap pihak lain.Apabila suami membunuh istrinya,maka ia terhalang mewarisi istrinya tersebut,seperti yang dijelaskan dalam hadist Rosulullah SAW yang artinya: “Dari Abu Hurairah Nabi SAW,bersabda:Pembunuh tidak berhak mendapatkan warisan”. (HR.Tirmidzi)
Contoh lain: Kondisi haid pada wanita yang telah mukallaf ditetapkan syari’ sebagai penghalang bagi wanita tersebut untuk melakukan sholat,hal ini dijelaskan dalam hadits: “Apabila telah datang haid maka hendaklah engkau meninggalkan sholat dan apabila telah berakhir haid tersebut,maka hendaklah engkau mandi dan lakukanlah sholat”. (H.R bukhori) (Firdaus,hal:245-255.2004)

4). Syah
• Tercapai sesuatu yang diharapkan secara syara’,apabila sebabnya ada,syarat terpenuhi,halangan tidak ada,dan berhasil memenuhi kehendak syara’ pada perbuatan tersebut.Maksudnya,suatu perbuatan dikatakan syah,apabila terpenuhi sebab dan syaratnya,tidak ada halangan dalam melaksanakannya,serta apa yang diinginkan syara’ dari perbuatan itu berhasil dicapai.Misalnya,seseorang melaksanakan sholat dengan memenuhi syarat dan sebabnya,serta orang yang sholat itu terhindar dari mani’.Apabila sholat dhuhur akan dilaksanakan,sebab wajibnya sholat itu telah ada,yaitu matahari telah tergelincir;orang yang akan sholat itu telah berwudhu’ ,dan tidak ada mani’ dalam mengerjakan sholat tersebut,maka sholat yang dikerjakan tersebut syah. (Amir,hal:344.1997)
5). Fasid/batal
• Yaitu akibat dari suatu perbuatan taklifi yang tidak memenuhi sebab atau syarat; terpenuhi keduanya tetapi terdapat padanya mani’.Contoh: seperti adanya seorang yang melakukan sholat maghrib sebelum tergelincirnya matahari atau tidak memakai wudhu’ atau sudah ada keduanya tetapi dilakukan oleh wanita yang sedang haid. (Amir,hal:287.1997)
6). Azimah dan Rukhsoh
• Azimah adalah hukum-hukum yang disyariatkan Allah SWT kepada hambanya sejak semula,dalam artian belum ada hukum sebelum hukum itu disyariatkan Allah SWT,sehingga sejak disyariatkannya seluruh mukallaf wajib mengikutinya.Dalam definisi lain dapat disebut bahwa Azimah merupakan hukum-hukum yang sejak semula pensyariatannya tidak berubah dan berlaku bagi seluruh ummat,tempat,dan masa tanpa kecuali.Contoh: jumlah rakaat sholat dhuhur adalah empat rokaat,jumlah rokaat ini ditetapkan Allah SWT sejak semula,dimana sebelumnya tidak ada hukum lain yang menetapkan jumlah rokaat sholat dhuhur.Hukum tentang rokaat sholat dhuhur itu adalah empat rokaat disebut dengan azimah.
• Apabila ada dalil lain yang menunjukkan bahwa orang-orang tertentu boleh mengerjakan sholat dhuhur dua rokaat seperti orang musyafir,maka hukum tersebut disebut rukhsoh.Dengan demikian,para ahli ushul fiqh mendefinisikan rukhsoh dengan “hukum yang ditetapkan berbeda dengan dalil yang ada karena ada udzur”. (Nasrun,hal:221.1997)

1 komentar: