Rabu, 06 April 2011

Hukum Taklifi Dan Hukum Wad’i

1. Hukum Taklifi
Para ahli ushul fiqih mendefinisikan hukum taklifi sebagaimana di bawah ini:
Hukum taklifi adalah suatu ketentuan yang menuntut mukallaf melakukan atau meninggalkan perbuatan atau berbentuk pilihan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan. Hukum taklifi terdiri dari wajib, mandub,haram, makruh, mubah. (Firdaus,hal:239.2004)
1). Wajib
a. Tuntutan untuk memperbuat secara pasti dengan arti harus diperbuat sehingga orang yang memperbuat patut mendapat ganjaran dan yang meninggalkan mendapat ancaman/dosa.
Contoh: Allah SWT berfirman dalam surat al-baqoroh ayat 110:
   •           •     
“Dan Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha melihat apa-apa yang kamu kerjakan”. (Nasrun,hal:211.1997)

Dalam surat an-nisa ayat 24:
             •  •                            •     
“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah Telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang Telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah Mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu Telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu.Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (Dede,hal:18.1996)

2). Mandub/Sunnah
b. Tuntutan untuk memperbuat secara tidak pasti denagn arti perbuatan itu untuk dilaksanakan.terhadap yang melaksanakan,berhak mendapat ganjaran atas kepatyhannya tetapi bila tuntutan itu ditinggalkan tidak apa-apa/tidak mendapat sangsi.Oleh karenanya yang meninggalkannya tidak patut mendapat ancaman dosa. Contoh: Seperti ayat 282 dalam surat al-baqoroh:
                                           •       •                      •                 •  •                                           •          
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (Nasrun,hal:211.1997)

3). Haram
c. Tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan secara pasti dengan artian yang dituntut harus meninggalkannya,bila seseorang meninggalkannya berarti ia telah patuh kepada yang melarangnya.Oleh karena itu ia patut mendapat ganjaran.Orang yang tidak meninggalkan larangan itu berarti ia menyalahi tuntutan allah SWT,karenanya patut mendapat ancaman dosa.
Contoh: dalam ayat 229 surah al-Baqoroh:
                                                   
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang Telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim”.
Dan juga dalam ayat 32 surat al-Isyro:
         
“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk”.
Juga dalam ayat3 surat al-Ma’idah:
       •       •                                                •    
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. pada hari ini orang-orang kafir Telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa Karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dan juga dalam surat al-maidah ayat 90:
               
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”. (Dede,hal:22.1996)
4). Makruh
d. Tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan,tetapi tuntutan itu diungkapkan melalui redaksi yang tidak pasti.Seseorang yang mengerjakan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan,tidak dikenai hukuman.
Contoh dalam sabda Rosulullah SAW yang artinya: “Perbuatan halal yang paling dibenci Allah SWT adalah talak”.(H.R Abu daud,Ibnu Majjah,al-Baihaqi dan Hakim). (Nasrun,hal:213.1997)
Dan juga seperti dalam ayat101 surat al-Maidah:
               •           
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun”. (Dede,hal:24.1996)

5). Mubah
e. Suatu perbuatan yang diberi kemungkinan kepada mukallaf antara memperbuat dan meninggalkan.Untuk menunjukkan hukum mubah,al-Qur’an dan Sunnah menggunakan sejumlah redaksi,diantaranya perbuatan itu memang dibolehkan. Mubah dapat diketahui melalui tiga cara:
1.Adanya ucapan pembuat hukum (syari’) tentang “tidak berdosa” atau “tidak ada halangannya” atau kata lain sejenis dengan itu, Contoh dalam ayat173 surat al-Baqoroh:
        •               •    
“Sesungguhnya Allah Hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
2.Adanya ucapan pembuat hukum yang secara jelas “menghalalkan” perbuatan itu.Contoh dalam surat al-Maidah ayat96:
•                 •     
“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan”.
3.Tidak ada nash syara’ yang mengharamkannya; oleh karenanya kembali kepada hukum asal berdasarkan prinsip dalam artian selama tidak ada titah Allah SWT yang mengharamkan maka hukumnya mubah.Dengan demikian setiap sesuatu yang ditemukan dalam bentuk makanan atau pakaian umpamanya,tetapi tidak ada keterangan yang mengharamkannya,maka hukumnya mubah.seperti memakan daging kelinci,memakai pakaian yang terbuat dari bulu kambing yang telah dibersihkan.Hal yang demikian dibolehkan,karena tidak ada dalil yang mengharamkannya. (Amir,hal:317-318.1997)

2. Hukum Wad’i
Hukum wad’i adalah ketentuan Allah SWT yang menetapkan sesuatu sebagai sebab,syarat,mani’,syah,fasid,azimah dan rukhsoh.Melalui definisi ini dapat dipahami bahwa hukum wad’i merupakan ketentuan Allah SWT yang mengatur tentang sebab,syarat,mani’,syah,batal,azimah dan rukhsoh. (Firdaus,hal:249.2004)
1). Sebab
• Sesuatu yang dijadikan syariat sebagai tanda bagi adanya hukum,dan tidak adanya sebab sebagai tanda bagi tidak adanya hukum.
Dari definisi ini dapat dipahami bahwa yang menetapkan sesuatu sebagai sebab adalah syari’ (Allah).Hal ini sangat logis karena Allah yang menetapkan hukum taklifi dan yang menjadikan sebab sebagai tanda ada atau tidak adanya hukum.Seperti dalam surat ayat yang artinya: “siapa diantara kamu yang telah melihat bulan (hilal) maka berpuasalah”.Contoh lain adalah seperti mabuk sebagai penyebab keharaman khamar,dalam sabda rosulullah SAW yang berbunyi: Setiap yang memabukkan itu adalah haram.(H.R Muslim,Ahmad ibn hambal dan Ashhab al-sunan). (Nasrun,hal:261.1997)
2). Syarat
• Adalah sesuatu yang dijadikan syari’ sebagai pelengkap terhadap perintah syara’,tidak syah pelaksanaan suatu perintah syara’ kecuali dengan adanya syarat tersebut. Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa syarat mempunyai arti penting karena sesuatu yang lain tergantung kepada adanya syarat tersebut.Dengan tidak terpenuhi syarat tersebut,maka berimplikasi suatu perintah syara’ menjadi tidak syah.Contoh:Wudu’ merupakan syarat syah pelaksanaan sholat.Berarti,bahwa syarat syahnya sholat tergantung adanya wudhu’.Dan juga pada saksi perkawinan,yang merupakan syarat syah akat nikah. (Firdaus,hal:251.2004)
3). Mani’
• Yaitu sesuatu yang ditetapkan syari’ sebagai penghalang adanya hukum.
Contoh: Akad perkawinan yang syah menyebabkan terjadi hubungan kewarisan antara suami istri.Namun,hak saling mewarisi antara suami istri tersebut dapat menjadi terhalang karena salah satu pihak melakukan pembunuhan terhadap pihak lain.Apabila suami membunuh istrinya,maka ia terhalang mewarisi istrinya tersebut,seperti yang dijelaskan dalam hadist Rosulullah SAW yang artinya: “Dari Abu Hurairah Nabi SAW,bersabda:Pembunuh tidak berhak mendapatkan warisan”. (HR.Tirmidzi)
Contoh lain: Kondisi haid pada wanita yang telah mukallaf ditetapkan syari’ sebagai penghalang bagi wanita tersebut untuk melakukan sholat,hal ini dijelaskan dalam hadits: “Apabila telah datang haid maka hendaklah engkau meninggalkan sholat dan apabila telah berakhir haid tersebut,maka hendaklah engkau mandi dan lakukanlah sholat”. (H.R bukhori) (Firdaus,hal:245-255.2004)

4). Syah
• Tercapai sesuatu yang diharapkan secara syara’,apabila sebabnya ada,syarat terpenuhi,halangan tidak ada,dan berhasil memenuhi kehendak syara’ pada perbuatan tersebut.Maksudnya,suatu perbuatan dikatakan syah,apabila terpenuhi sebab dan syaratnya,tidak ada halangan dalam melaksanakannya,serta apa yang diinginkan syara’ dari perbuatan itu berhasil dicapai.Misalnya,seseorang melaksanakan sholat dengan memenuhi syarat dan sebabnya,serta orang yang sholat itu terhindar dari mani’.Apabila sholat dhuhur akan dilaksanakan,sebab wajibnya sholat itu telah ada,yaitu matahari telah tergelincir;orang yang akan sholat itu telah berwudhu’ ,dan tidak ada mani’ dalam mengerjakan sholat tersebut,maka sholat yang dikerjakan tersebut syah. (Amir,hal:344.1997)
5). Fasid/batal
• Yaitu akibat dari suatu perbuatan taklifi yang tidak memenuhi sebab atau syarat; terpenuhi keduanya tetapi terdapat padanya mani’.Contoh: seperti adanya seorang yang melakukan sholat maghrib sebelum tergelincirnya matahari atau tidak memakai wudhu’ atau sudah ada keduanya tetapi dilakukan oleh wanita yang sedang haid. (Amir,hal:287.1997)
6). Azimah dan Rukhsoh
• Azimah adalah hukum-hukum yang disyariatkan Allah SWT kepada hambanya sejak semula,dalam artian belum ada hukum sebelum hukum itu disyariatkan Allah SWT,sehingga sejak disyariatkannya seluruh mukallaf wajib mengikutinya.Dalam definisi lain dapat disebut bahwa Azimah merupakan hukum-hukum yang sejak semula pensyariatannya tidak berubah dan berlaku bagi seluruh ummat,tempat,dan masa tanpa kecuali.Contoh: jumlah rakaat sholat dhuhur adalah empat rokaat,jumlah rokaat ini ditetapkan Allah SWT sejak semula,dimana sebelumnya tidak ada hukum lain yang menetapkan jumlah rokaat sholat dhuhur.Hukum tentang rokaat sholat dhuhur itu adalah empat rokaat disebut dengan azimah.
• Apabila ada dalil lain yang menunjukkan bahwa orang-orang tertentu boleh mengerjakan sholat dhuhur dua rokaat seperti orang musyafir,maka hukum tersebut disebut rukhsoh.Dengan demikian,para ahli ushul fiqh mendefinisikan rukhsoh dengan “hukum yang ditetapkan berbeda dengan dalil yang ada karena ada udzur”. (Nasrun,hal:221.1997)

Prinsip-prinsip Kesehatan Mental

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini, kesehatan mental, sudah semakin dikenal oleh masyarakat Indonesia. Pendekatan psikologis sebagai upaya mencari solusi bagi aneka ragam permasalahan yang dihadapi manusia menjadi pilihan yang bijak. Betapa tidak, karena psikologi berfungsi sebagai alat bantu untuk menciptakan kehidupan yang lebih sehat, damai, dan sejahtera. Ini berarti psikologi di butuhkan bagi siapa saja yang ingin menjalankan kehidupan sehari-hari secara sehat.
Hidup sehat jasmani, rohani, emosional, intelektual, dan spiritual menjadi dambaan setiap insane yang normal. Secara kodrati manusia menunjukkan perbedaan-perbedaan individual dalam aspek fisik, social, emosional, dan intelektual. Aspek-aspek tersebut saling berinteraksi dalam membentuk perilaku manusia. Interaksi antara aspek-aspek tersebut di harapkan berada pada porsi yang seimbang sehingga dalam diri manusia terdapat keseimbangan yang sehat.
Psikologi bertujuan untuk menumbuhkan dan mengembangkan kesehatan mental masyarakat. Kriteria sehat mental antara lain mampu menyesuaikan diri dan mengembangkan potensi yang dimilikinya, termasuk potensi soft skills di samping potensi hard skills yang dimilikinya. Kemampuan mengembangkan soft skills dan aplikasinya merupakan salah satu upaya untuk mencegah dan mengatasi berbagai tindak kekerasan. Di sinilah letak pentingnya pembahasan tentang prinsip-prinsip kesehatan mental.
Memasuki millenium baru, pada umumnya Negara-negara di dunia menghada[pi pilihan historis. Mereka dapat terus meningkatkan kekayaan materi tatkala mengacunhkan kebutuhan manusiawi penduduknya atau sebaliknya. Keadaan pertama akan mengakibatkan meningkatnya egoisme, hilangnya kasih sayang dan bertambahnya jurang pemisah antara yang mempunyai dan kurang beruntung dan akhirnya mengarah ke anarki, penyakit mental yang kronis dan putus asa. Indonesia, secara khusus, mengalami keadaan yang serupa. Permasalahan berbagai bidang, termasuk semakin meningkatnya angka pengangguran dan kemiskinan yang kronis dapat meningkatkan penyakit mental, seperti kesulitan untuk beradaptasi, sehingga fenomena kebingungan, ketegangan kecemasan dan konflik berkembang begitu cepat, yang pada akhirnya menyebabkan orang mengembangkan pola perilaku yang menyimpang. Oleh karena itu, ilmu yang mempelajari prinsip kesehatan mental menjadi semakin penting untuk menumbuhkan dan mengembangkan kesehatan mental masyarakat, dan dapat bermanfaat mencari jalan keluar atas berbagai masalah psikologis yang ada dalam masyarakat.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja prinsip-prinsip kesehatan mental yang berdasarkan hakekat manusia?
2. Apa saja prinsip-prinsip kesehatan mental hubungan manusia dengan lingkungan?
3. Apa saja prinsip-prinsip kesehatan mental hubungan manusia dengan Tuhan?
C. Tujuan pembahasan
1. Untuk mengetahui prinsip-prinsip kesehatan mental yang berdasarkan hakekat manusia
2. Untuk mengetahui prinsip-prinsip kesehatan mental hubungan manusia dengan lingkungan
3. Untuk mengetahui prinsip-prinsip kesehatan mental hubungan manusia dengan Tuhan
PEMBAHASAN
D. Pembahasan Masalah
1. Prinsip-prinsip kesehatan mental yang berdasarkan hakekat manusia
a. Pengertian kesehatan mental
Kesehatan mental memiliki sejumlah pengertian, kalangan klinisi berpandangan bahwa sehat mentalnya jika terbebas dari gangguan dan sakit mental. Pengertian yang lain lebih menekankan pada kemampuan individual dalam merespon lingkungannya. Selain itu juga ada yang menekankan pada pertumbuhan dan perkembangan yang positif.
Mental hygiene atau ilmu kesehatan mental adalah ilmu yang mempelajari masalah kesehatan mental/ jiwa, bertujuan mencegah timbulnya gangguan atau penyakit mental dan gangguan emosi, dan berusaha mengurangi atau menyembuhkan penyakit mental, serta memajukan kesehatan jiwa rakyat.
Secara epistimologi mental hygiene berasal dari kata: mental dan Hygeia. Hygeia adalah nama dewi kesehatan yunani, dan hygiene berarti ilmu kesehatan.sedangkan mental dari kata latin mens, mentis yang artinya : jiwa, nyawa, sukma, roh, semangat. Maka pada intinya mental hygiene adalah ilmu yang bertujuan :
1. Memiliki dan membina jiwa yang sehat.
2. Berusaha mencegah timbulnya kepatahan jiwa ( mental breakdown ), mencegah berkembangnya macam – macam penyakit mental dan sebab musabab timbulnya penyakit tersebut.
3. Mengusahakan penyembuhan dalam stadium permulaan
Kesehatan mental adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan diri sendiri, dengan orang lain, dan dengan masyarakat di aman ia hidup. Kesehatan mental tidak hanya jiwa yang sehat berada dalam tubuh yang sehat, tetapi juga suatu keadaan yang berhubungan erat dengan seluruh eksistensi manusia. Itulah suatu keadaan kepribadian yang bercirikan kemampuan seseorang untuk menghadapi kenyataan dan untuk berfungsi secara efektif dalam suatu masyarakat yang dinamik. Jadi orang yang bermental sehat adalah orang yang dapat menguasai segala faktor dalam hidupnya sehingga ia dapat mengatasi kekalutan mental sebagai akibat dari tekanan-tekanan perasaan dan hal-hal yang menimbulkan frustasi.
Kesehatan mental secara relatif sangat dekat dengan integritas jasmaniah-rohaniah yang ideal. Kehidupan psikisnya stabil, tidak banyak memendam konflik internal, suasana hatinya tenang dan jasmaniahnya selalu sehat. Mentalitas yang sehat dimanifestasikan dalam gejala;tanpa gangguan batin, dan posisi pribadinya harmonis/seimbang, baik ke dalam (terhadap diri sendiri), maupun keluar (terhadap lingkungan sosialnya). Ciri-ciri khas pribadi yang bermental sehat antara lain:

1. Ada koordinasi dari segenap usaha dan potensinya, sehingga orang mudah mengadakan adaptasi terhadap tuntutan lingkungan standar, dan norma sosial, serta terhadap perubahan-perubahan sosial yang serba cepat.
2. Memiliki integrasi dan regulasi terhadap struktur kepribadian sendiri, sehingga mampu memberikan partisipasi aktif kepada masyarakat.
3. Senantiasa giat melaksanakan proses realisasi diri (yaitu mengembangkan secara riil segenap bakat dan potensi), memiliki tujuan hidup dan selalu mengarah pada transendensi diri, berusaha untuk melebihi keadaan/kondisinya yang sekarang.
4. Bergairah, sehat lahir batin, tenang dan harmonis kepribadiannya, serta mampu menghayati kenikmatan dan kepuasan dalam pemenuhan kebutuhannya.

b. Sejarah perkembangan kesehatan mental manusia
Seperti juga psikologi yang mempelajari hidup kejiwaan manusia, dan mempunyai usia sejak adanya manusia ada di dunia, maka masalah kesehatan jiwa itupun telah ada sejak beribu – ribu tahun yang lalu, dalam bentuk pengetahuan yang sederhana.

Beratus – ratus tahun yang lalu orang menduga bahwa penyebab penyakit mental adalah syaitan – syaitan, roh – roh jahat dan dosa – dosa. Oleh karena itu penderita penyakit mental di masukan dalam penjara – penjara di bawah tanah, atau di hukum dan di ikat erat – erat dengan rantai besi yang berat serta kuat. Di sebabkan oleh anggapan mereka yang keliru. Lambat laun ada usaha – usaha kemanusiaan yang mengadakan perbaikan dalam menanggulangi orang – orang yang terganggu mental nya ini. Kemudian muncul sikap yang lebih ilmiah terhadap penyakit mental, yaitu sejajar dengan berkembangnya ilmu pengetahuan alam di eropa.

Gerakan – gerakan hygiene mental ini sangat cepat meluas, dan menembus dalam beberapa bidang lainnya; antara lain di bidang pendidikan, kesehatan umum (public health). Bidang kedokteran dan pengobatan. Dan akhirnya mental hygiene juga mempengaruhi bidang psikiatri, psikologi klinis, sosiologi anak, psikologi abnormal, dan lain sebagainya.
c. Prinsip-prinsip kesehatan mental manusia dan sebab kekalutan mental
Ada beberapa prinsip pokok kesehatan mental manusia, antara lain :
1. Menerima diri sebagaimana adanya (self-aceptance)
Pada umumnya, orang yang sehat mentalnya dapat menerima keadaan dirinya sebagaimana adanya dan mempunyai self-esteem yang positif, tetapi jangan sampai berlebih-lebihan. Self-esteem merupakan essential component mengenai mental yang sehat (Allport, 1961; Maslow, 1970; Rogers, 1961 dalam Capuzzi & Gross, 1997). Self-esteem yang negatif dapat menimbulkan berbagai masalah sehingga keadaan mental kurang baik atau kurang sehat. Menerima keadaan diri sebagaimana adanya juga berarti menerima diri dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

2. Mengerti tentang keadaan diri (self-knowledge)
Orang yang mentalnya sehat mengerti dengna baik tentang keadaan dirinya. Orang akan sadar, baik mengenai perasaannya, motivasinya, kemampuan berpikirnya, maupun aspek-aspek mentalnya yang lain.

3. Self-confidence dan self control
Orang yang sehat mentalnya mempunyai percaya diri (self confidence) dan kontrol diri (self-control). Merek adapat independen bila diperlukan dan dapat pula asertif apabila yang bersangkutan ingin asertif. Mereka mempunyai internal focus of control. Merek adapat mengontrol dirinya dengan baik.

4. A clear perception of reality
Orang yang sehat mentalnya mampu mengadakan persepsi keadaan realita secara baik. Orang dapat membedakan mana yang riil dan mana yang tidak. Orang yang demikian tidak mencampuradukkan anatara yang riil dengna yang tidak riil, bersifat objektif, dan selalu melihat realita seperti apa adanya.

5. Balance and moderation
Orang yang mentalnya sehat mempunyai keseimbangan atau balance dalam kehidupannya. Mereka bekerja, tetapi juga istirahat atau main; menangis, tetapi juga tertawa; mementingkan diri (selfish), tetapi juga mementingkan sosial (altruistic); berpikir logis, tetapi juga intuitif, pada dasarnya, kehidupan mereka selalu dalam keadaan keseimbangan. Orang yang sehat mentalnya bersikap moderat, tidak ekstrim. Kalau bersikap ekstrim dapat menimbulkan masalah.

6. Love of others
Orang yang sehat mentalnya akan menyayangi sesama manusia, mereka tidak mempunyai sikap permusuhan terhadap orang lain. Dengan demikian, mereka dapat diterima secara baik oleh orang-orang lain, tidak timbul permusuhan, suasana adanya kedamaian.

7. Love of life
Orang yang sehat mentalnya akan menyayangi kehidupan yang dihadapi. Apa yang dihadapi dalam kehidupannya selalu diterima secara tulus dan penuh rasa sayang.

8. Purpose in life
Orang yang sehat mentalnya menyadari dengan sepenuhnya tentang tujuan kehidupannya. Untuk apa dan ke arah mana kehidupannya disadari dengan sepenuhnya, tidak ada keragu-raguan dalam mengarungi kehidupannya.

Demikianlah prinsip-prinsip kesehatan mental, pengembangan dan penyesuaian diri (adjustment) yang merupakan dasar kebahagiaan bagi setiap orang. Kekurangan pelaksanaan prinsip-prinsip tersebut akan mengurangi kebahagiaannya. Derajat kebahagiaan anatara lain dapat diukur melalui kemantapan pelaksanaan prinsip-prinsip itu.



Penyebab kekalutan mental dalam diri manusia:

1. Pemenuhan kebutuhan pokok
Setiap individu selalu memiliki dorongan – dorongan dan kebutuhan pokok yang bersifat organis ( fisis dan psikis ) dan yang bersifat sosial. Kebutuhan – kebutuhan dan dorongan – dorongan itu menuntut pemuasan. Timbulah ketegangan – ketegangan dalam usaha pencapaiannya. Ketegangan cenderung menurun jika kebutuhan – kebutuhan terpenuhi dan cenderung naik/ makin banyak, jika mengalami frustasi atau hambatan – hambatan.

2. Kepuasan

Setiap orang menginginkan kepuasan, baik yang bersifat jasmaniah maupun yang bersifat psikis. Dia ingin merasa kenyang, aman terlindungi, ingin puas dalam hubungan seksnya, ingin mendapat simpati dan di akui harkatnya. Pendeknya ingin puas di segala bidang. Lalu timbullah sense of importancy dan sense of mastery. ( kesadaran nilai dirinya dan kesadaran penguasaan yang member rasa senang, panas dan bahagia.

3.Posisi dan status social

Setiap individu slalu berusaha mencari posisi sosial dan status sosial dalam lingkungannya. tiap manusia membutuhkan cinta kasih dan simpati. Sebab cinta kasih dan simpati menumbuhkan rasa diri aman (assurance), keberanian dan harapan – harapan di masa mendatang. Orang lalu menjadi optimis dan bergairah karenanya, individu – indvidu yang mengalami gangguan mental, biasanya merasa dirinya tidak aman.

d. Tujuan-tujuan kesehatan mental manusia
Tujuan yang ingin dicapai oleh ilmu kesehatan mental meliputi kepentingan pribadi dan social. Kepentingan pribadi itu mencakup segala usaha untuk menjadikan individu sehat mentalnya, brarti bahwa ia dengan yakin mempunyai hidup yang bertujuan, bahwa ia dapat mencapai cita-cita hidupnya melalui jalan yang wajar (tidak dengan jlan korupsi dsb) dan bahwa ia dapat menggunakan dengan berhasil segala kemampuan dan kesanggupannya, bahwa ia mempunyai rasa hormat dan kepercayaan pada diri sendiri, bahwa ia dapat mencintai dan dicintai, bahwa ia menjadi bvagian dalam masyarakat, bahwa ia bertanggung jawab atas keamanan dan keselamatan dirinya dan lingkungannya dan seluruh bangsa dan negaranya .
Kepentingan social itu menyiapkan individu agar ia menjadi orang yang bahagia dan produktif, berguna untuk sesame manusia, dapat menyumbangkan tenaga dan pikiranya guna perbaikan dan penyempurnaan keadaan masyarakat sekitarnya yang tengah menghadapi perubahan dan tantangan. Jadi ilmu kesehatan mental bertujuan:
1. Pengembalian kesehatan mental
2. Pencegahan kesakitan mental
3. Peningkatan kesehatan mental.

4. Prinsip-prinsip kesehatan mental hubungan manusia dengan lingkungan
Keturunan dan lingkungan memberikan pengaruh yang tidak kecil. Dalam perkembangan seseorang kemauan bebas dan takdir turut “berbicara”. Faktor-faktor psikologis dan jasmaniah saling mempengaruhi. Kebutuhan psikologis mempunyai dasar kebutuhan jasmaniah dan social, dapat tumbuh dari pengalaman-pengalaman masa lalu, dapat di pengaruhi oleh kepuasan atau frustasi akibat kebutuhan fisiologis berkembang karena pengaruh lingkungan dan interaksi karena masalah sekitar. Fase perkembangan seorang anak juga memainkan peranannya.

Prinsip yang didasarkan atas hubungan manusia dengan lingkungannya, meliputi:

a. Kesehatan dan penyesuaian mental tergantung kepada hubungan interpersonal yang sehat, khususnya di dalam kehidupan keluarga.
b. Penyesuaian yang baik dan kedamaian pikiran tergantung kepada kecukupan dalam kepuasan kerja.
c. Kesehatan dan penyesuaian mental memerlukan sikap yang realistik yaitu menerima realitas tanpa distorsi dan objektif.

perkembangan anak ditentukan oleh lingkungan.
Aliran ini memandang penting pengalaman, lingkungan yang efektif, pembelajaran, sosialisasi, pendidikan, dan akulturasi. Sedangkan faktor genetik yang dibawa sejak masa konsepsi, instink, dan kematangan dianggap tidak berfungsi dalam perkembangan organisme. Perkembangan organisme semata-mata ditentukan oleh lingkungan.
Manusia terdiri atas pikiran dan rasa dimana keduanya harus digunakan. Rasa menjadi penting digerakkan terlebih dahulu, karena seringkali dilupakan. Bagaimana memulai pendidikan lingkungan hidup? Pendidikan Lingkungan Hidup harus dimulai dari HATI. Tanpa sikap mental yang tepat, semua pengetahuan dan keterampilan yang diberikan hanya akan menjadi sampah semata.
Untuk membangkitkan kesadaran manusia terhadap lingkungan hidup di sekitarnya, proses yang paling penting dan harus dilakukan adalah dengan menyentuh hati. Jika proses penyadaran telah terjadi dan perubahan sikap dan pola pikir terhadap lingkungan telah terjadi, maka dapat dilakukan peningkatan pengetahuan dan pemahaman mengenai lingkungan hidup, serta peningkatan keterampilan dalam mengelola lingkungan hidup.

Prinsip Berdasarkan pada Hubungan Manusia dengan Lingkungan
a. Kesehatan mental dan penyesuaian diri tergantung pada hubungan antar pribadi yang harmonis, terutama dalam kehidupan keluarga.
b. Penyesuain yang baik dan ketegangan batin tergantung pada kepuasan dalam bekerja.
c. Kesehatan mental dan penyesuain diri dicapai dengan sikap yang realistis, termasuk penerimaan terhadap kenyataan secara sehat dan objektif.
RUANG LINGKUP MENTAL HYGIENE
1. Mental Hygiene dalam Keluarga
Amatlah penting bagi suami istri dalam mengelola keluarga untuk menciptakan keluarga yang sakinah mawaddah warahmah untuk memahami konsep-konsep atau prinsip-pronsip kesehatan mental hygiene ini, yang berfungsi untuk mengembangkan mental yang sehat atau mencegah terjadinya mental yang sakit pada anggota keluarga.
2. Mental Hygiene di Sekolah
Gagasan ini didasarkan pada asumsi bahwa “perkembangan kesehatan mental peserta didik dipengaruhi oleh iklim sosio-emosional di sekolah.” Pemahaman pimpinan sekolah dan guru-guru (terutama guru BK atau konselor) tentang mental hygiene sangatlah penting. Pimpinan dan para guru secara sinerji dapat menciptakan iklim kehidupan sekolah (fisik, emosional, sosial, maupun moral spiritual) untuk perkembangan kesehatan mental para siswa. Di samping itu mereka dapat memantau gejala gangguan mental para siswa sedini mungkin. Mereka dapat memahami masalah mental yang dapat diatasi sendiri dan mana yang seyogianya dirujuk ke para ahli yang lebih profesional.
Para guru di SLTP dan SLTA perlu memahami kesehatan mental siswanya yang berada pada masa transisi, karena tidak sedikit siswanya yang mengalami kesulitan mengembangkan mentalnya karena terhambat oleh masalah-masalahnya, seperti penyesuaian diri, konflik dengan orang tua atau teman, masalah pribadi, masalah akademis yang semuanya dapat menjadi sumber stres.
3. Mental Hygiene di tempat kerja
Lingkungan kerja memainkan peranan penting dalam kehidupan manusia. Lingkungan kerja tidak hanya menjadi tempat mencari nafkah, ajang persaingan bisnis, dan peningkatan kesejahteraan hidup, tetapi juga menjadi sumber stres yang memberikan dampak negatif terhadap kesehatan mental bagi semua orang yang berinteraksi di tempat tersebut.
Banyak masalah yang mengakibatkan gangguan mental di tempat kerja yang diakibatkan oleh stres, apabila masalah-masalah tersebut menimpa suatu lembaga atau perusahaan, maka akan terjadi stagnasi produktivitas kerjadi di kalangan pimpinan atau karyawan. Jika hal ini terjadi, amaka tinggal menunggu kebangkrutan lembaga atau perusahaan tersebut.
Berdasarkan hal itu, bagi para pimpinan lembaga pemerintah / swasta yang menginginkan tercapainya keberhasilan. Sangatlah penting untuk memperhatikan mental hygiene ini, agar mereka dapat mengembangkan kiat-kiat untuk mencegah terjadinya maslaah gangguan emosional, datu memperkecil sumber-sumber terjadinya stres.
4. Mental Hygiene dalam Kehidupan Politik
Tidak sedikit orang yang bergelut dalam bidang politik yang mengidap gangguan mental, seperti : pemalsuan ijazah, money politic, KKN, khianat kepada rakyat dan stres yang menimbulkan perilaku agresif karena gagal menjadi calon legislatif, dll.
5. Mental Hygiene di Bidang Hukum
Seorang hakim perlu memiliki pengetahuan tentang mental hygiene, agar dapat mendeteksi tingkat kesehatan mental terdakwa atau para saksi saat proses pengadilan berlangsung, dimana sangat berpengaruh terhadap pengambilan keputusan hukum.


5. Prinsip-prinsip kesehatan mental hubungan manusia dengan Tuhan
Prinsip yang didasarkan atas hubungan manusia dengan Tuhan, meliputi:
a. Stabilitas mental memerlukan seseorang yang mengembangkan kesadaran atas realitas terbesar daripada dirinya yang menjadi tempat bergantung kepada setiap tindakan yang fundamental.
b. Kesehatan mental dan ketenangan hati memerlukan hubungan yang konstan antara manusia dengan Tuhannya.
Pengakuan secara intelektual tentang kebergantungan manusia keapada Tuhan tidak cukup. Pengakuan itu harus direalisasikan dan dimanifestasikan melalui hubungan aktif dengan Tuhan berupa shalat, berpuasa, berkurban, dan melaksanakan perintah-Nya yang lain sesuai kemampuan serta meninggalkan larangan-Nya. Tanpa ibadah pengakuan dengan Tuhan hanyalah khayalan belaka, shalat, berdoa, dan tata cara ibadah lain merupakan pendekatan jiwa raga, hati dan pikiran kepada Tuhan akan mengusir rasa cemas, takut, khawatir, sedih, rasa sendirian, dan rasa tidak berdaya, bahkan dapat menimbulkan rasa kemerdekaan, ketenangan dan kebahagiaan.

Prinsip Berdasarkan pada Hubungan Manusia dengan Tuhan
a. Kestabilan mental tercapai dengan perkembangan kesadaran terhadap sesuatu yang lebih luhur daripada dirinya sendiri tempat ia bergantung: Allah SWT.
b. Kesehatan mental dan ketenangan batin dicapai dengan kegiatan yang tetap dan teratur dalam hubungan manusia dengan Tuhan seperti melalui sholat dan berdo’a.
Pengembangan Keimanan dan Ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa
• Pimpinan sekolah, guru-guru, dan personel sekolah lainnya harus sama-sama mempunyai kepedulian terhadap program pendidikan agama, atau penanaman nilai-nilai agama di sekolah
• Guru agama seyogianya memiliki kepribadian yang mantap, pemahamna profesional, serta kemampuan mengemas pelajarn agama menjadi menarik
• Guru-guru berupaya menyisipkan nilai-nilai agama ke dalam mata pelajaran yang diajarkannya.
• Sekolah menyediakan sarana ibadah
• Menyelenggarakan ekstrakulikuler kerohanian
• Bekerjasama dengan orangtua siswa dalam membimbing keimanan dan ketakwaan siswa.


KESEHATAN MENTAL


Al-Quran Al-Karim memang banyak berbicara tentang penyakit jiwa. Mereka yang lemah iman dinilai oleh Al-Quran sebagai orang yang memiliki penyakit di dalam dadanya.


Seperti diungkapkan oleh beberapa pakar ilmu jiwa, sebagian kompleks kejiwaan yang diderita orang dewasa, dapat diketahui penyebab utamanya pada perlakuan yang diterimanya sebelum dewasa.

Agaknya kita dapat menyimpulkan bahwa pandangan Islam tentang penyakit-penyakit mental mencakup banyak hal, yang boleh jadi tidak dijangkau oleh pandangan ilmu kesehatan modern.

Dalam Al-Quran tidak kurang sebelas kali disebut istilah fi qulubihim maradh,

Kata qalb atau qulub dipahami dalam dua makna, yaitu akal dan hati. Sedang kata maradh biasa diartikan sebagai penyakit.
Secara rinci pakar bahasa Ibnu Faris mendefinisikan kata tersebut sebagai "segala sesuatu yang mengakibatkan manusia melampaui batas keseimbangan/kewajaran dan mengantar kepada terganggunya fisik, mental, bahkan kepada tidak sempurnanya amal seseorang."

Terlampauinya batas kesimbangan tersebut dapat berbentuk gerak ke arah berlebihan, dan dapat pula ke arah kekurangan.

Dari sini dapat dikatakan bahwa Al-Quran memperkenalkan adanya penyakit-penyakit yang menimpa hati dan yang menimpa akal.


Penyakit akal berupa ketidaktahuan mengantarkan penderitanya pada keraguan dan kebimbangan.

Penyakit-penyakit kejiwaan pun beraneka ragam dan bertingkat-tingkat. Sikap angkuh, benci, dendam, fanatisme, loba, dan kikir yang antara lain disebabkan karena bentuk keberlebihan seseorang. Sedangkan rasa takut, cemas, pesimisme, rendah diri dan lain-lain adalah karena kekurangannya.

Yang akan memperoleh keberuntungan di hari kemudian adalah mereka yang terbebas dari penyakit-penyakit tersebut, seperti bunyi firman Allah dalam surat Al-Syu'ara' (26): 88-89:
“Pada hari (akhirat) harta dan anak-anak tidak berguna (tetapi yang berguna tiada lain) kecuali yang datang kepada Allah dengan hati yang sehat”.

Islam mendorong manusia agar memiliki kalbu yang sehat dari segala macam penyakit dengan jalan bertobat, dan mendekatkan diri kepada Tuhan, karena:
“Sesungguhnya dengan mengingat Allah jiwa akan memperoleh ketenangan (QS Al-Ra'd [13]: 28).

Itulah sebagian tuntunan Al-Quran dan Sunnah Nabi Saw. Tentang kesehatan.